Minggu, 29 Maret 2015

Di Aula PKM Untirta

Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi di Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 15 Mei 2013.

Di Chennai, India

Konferensi Nahjul Balaghah di Chennai, India pada 28-29 Maret 2015.

Di UPI Bandung

Sejumlah foto di acara Diskusi dan Apresiasi Buku Mazmur Musim Sunyi karya Sulaiman Djaya yang diselenggarakan oleh ASAS UPI di UPI Bandung 18 April 2013. Pukul 13.00 WIB - 17.00 WIB.

Profil Sastra



Sulaiman Djaya dan Dinamika Kesusastraan
Oleh M. Rois Rinaldi (Penyair)

Kerja-kerja sastra sangat menguras pikiran, tenaga, dan waktu. Karena dituntut mengerahkan kecerdasan emosional, kedalaman bathin, dan keluasan berpikir dalam setiap karya, bahkan dalam setiap tindakan –meski tak dapat dipastikan bahwa semua penyair demikian. Sementara di sisi lain, paling tidak hingga tulisan ini ditulis, kesusastraan (khususnya puisi) masih di-anak tirikan, di mana toko-toko buku tidak begitu saja menerima antologi puisi, syarat dan ketentuan yang diajukan dibuat berat dan bertele-tele.

Jika pun ada buku puisi yang tersebar di toko-toko buku, sebatas kata-kata cinta ala anak-anak remaja (ABG). Hal semacam itu memang aneh sekaligus tidak aneh, karena manusia di jaman sekarang orientasinya selalu keuntungan, maka yang diprioritaskan kehendak pasar, kualitas menjadi nomor keseratus.

Kenyataan yang dihadapi sastrawan seperti buah simalakama: mengerahkan seluruh hidupnya dalam kesusastraan yang minus pendapatan material atau gantung pena, lalu memilih profesi lain yang lebih menghasilkan. Dilatarbelakangi oleh pangsa pasar pula, membuat beberapa sastrawan berpindah-pindah genre, seperti Motinggo Busye. Novel-novelnya laku keras seperti kacang goreng di area layar tancap. Belum lagi sastrawan dihadapkan pada kemalasan guru-guru bahasa yang tidak berusaha mencari dan menemukan data baru mengenai sastrawan yang hari ini berkarya.

Sebetulnya perkara-perkara semacam itu tidak akan membuat sastrawan sejati tumbang. Karena bagi sastrawan yang bebas jiwa dan badannya, keadaan tidak untuk diikuti, melainkan ditanggapi dengan matang dan tenang –toh kemenangan selalu di tangan orang-orang yang tenang. Berbeda dengan sastrawan yang tahunya soal-soal eksistensi dan selebritas kesusastraan, biasanya rapuh dan kalah oleh keadaan. Sepanjang waktu akan ditakut-takuti kegelisahan eksistensi, apalagi sampai tidak laku dan tidak menulis kemudian menjadi pilihan.

Sulaiman Djaya salah satunya –sastrawan ini selalu riang gembira dalam pelbagai kesempatan. Ia termasuk sastrawan yang produktif. Terakhir ia menerbitkan antologi puisinya yang berjudul Mazmur Musim Sunyi. Sastrawan yang lebih pas disebut penyair ini, selain menulis puisi dan esai sastra, juga kerap menulis tentang kajian-kajian kebudayaan. Sehingga belakangan ia juga disebut budayawan. Tetapi sekali lagi, ia lebih pas disebut penyair. Puisi-puisinya memiliki warna airmuka yang begitu dekat kaitannya dengan “hakikat kehidupan”. Jika sekilas dibaca, puisi-puisinya seperti puisi cinta biasa, akan tetapi jika diselami lebih dalam, ada warna “teologis”, semisal yang bercitarasa sufistik.

Begitulah sekilas tentang Sulaiman Djaya dan karya-karyanya. Seperti kata pepatah: “Tak kenal maka tak sayang” melihat konsistensinya di dunia kesusastraan. Menyoal proses kreatif, sastrawan ini kerap memberikan “wejangan” kepada penyair-penyair muda untuk membaca dan memahami al Qur’an –karena di dalam al Qur’an aspek-aspek kesastraan begitu paripurna. Begitulah obrolan ringan mengenai kesusastraan bersama Sulaiman Djaya sambil ngopi dan makan ubi rebus.

Disadur dari Tabloid Ruang Rekonstruksi Edisi Desember 2013.

Sabtu, 28 Maret 2015

Galeri MPU Ke-8 di Banten



Pada 15-18 November 2013 lalu Temu Sastra Mitra Praja Utama Ke-8 digelar di Kota Serang dan di kawasan masyarakat Kanekes (Baduy) Banten. Sebagai provinsi muda, Banten kembali dipercaya sebagai tuan rumah perhelatan sastra dan kebudayaan Mitra Praja Utama (MPU), setelah MPU sebelumnya diadakan di Jogjakarta. Ini merupakan kali keduanya Banten kembali menjadi tuan rumah penyelenggaraan perhelatan Kesusastraan Mitra Praja Utama setelah sebelumnya menjadi tuan rumah di penyelenggaraan MPU perdana. Pada penyelenggaran MPU kali ini, tema umum yang dipilih adalah “Mistisisme dalam Kesusastraan”.

Tentu saja, dipilihnya tema tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan, yang meski tak terhindar dari subjektivitas, namun tidak terlepas dari upaya untuk mengangkat wacana dan khasanah yang paling dekat dengan “kultur” Banten sebagai tuan rumah. Martin van Bruinessen, misalnya, menyebut Banten secara kultural dan mistis dengan julukan “surga-nya khazanah dan praktek magis di Nusantara”. Yang dimaksud Bruinessen dengan pernyataannya tersebut adalah budaya-budaya masyarakat Banten semisal Silat dan Debus atau praktik-praktik kesaktian, kedigdayaan, dan “ngehikmah” ala orang Banten yang memang sudah populer di Nusantara.

Apa yang dikemukakan Bruinessen tersebut hanya sekeping contoh kecil tentang khazanah mistis dan magis di Banten, meski tentu saja Bruinessen belum menyebut keseluruhan secara utuh kultur mistis dan magis masyarakat Banten yang mewujud dalam ragam khazanah dan living culture, semisal kesastraan magis yang hidup di Banten Selatan, seperti tradisi pantun dan mantra magis Sunda-Baduy yang telah banyak dikaji itu, namun masih menyimpan potensi untuk terus dikaji ulang. Dan juga Seni Dodod Banten Selatan di Pandeglang yang merupakan seni ritual pantun Sunda Banten yang telah berakulturasi dengan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam prakteknya.

Dalam dua contoh seni tradisi tersebut, yang tentu saja menarik dan tak bisa diabaikan, adalah adanya unsur kesastraan puitik yang dalam hal ini pantun dan mantra yang dibacakan dalam ritual dan upacara adat dan tradisional tersebut.

Hal lain yang menarik adalah, meski secara linguistis dan geografis Banten terbagi menjadi Banten Utara yang didominasi penggunaan bahasa Jawa Banten dalam keseharian dan Banten Selatan yang didominasi penggunaan Bahasa Sunda, namun memiliki kekhasan umum yang sama dalam kecendrungan kulturalnya, baik dari sisi budaya, adat, dan sastra. Khusus di Banten Utara, misalnya, kita bisa mengkaji khazanah penulisan dan kesusastraan yang menggunakan Bahasa Jawa Banten, semisal kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren-pesantren dan sastra lokal pantun dolanan dan sindiran yang menggunakan Bahasa Jawa Banten yang juga akrab dengan khazanah mistis dan magis dalam konteks lanskap umum kultur Banten.

Kekayaan itu akan semakin bertambah bila kita mengkajinya secara historis. Di sini kita dapat mencontohkan warisan-warisan penulisan dan kesastraan Banten masa silam di era Kesultanan Banten dan di era Banten pra-Islam.

Begitulah “Mistisisme dalam Kesusastraan” dipilih sebagai tema penyelenggaraan MPU VIII di Banten, yang selain ingin menggali bahan-bahan dan pengkajian baru khazanah sastra yang belum maksimal dieksplorasi, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menimba dan menggali kearifan lokal atau local wisdom yang diharapkan akan memberi wawasan, pintu, dan khazanah baru bagi kreativitas dalam dunia sastra dan penulisan, dan kebudayaan pada umumnya. Dan seperti kita tahu, kearifan lokal ini menyebar di seluruh negeri, etnik, dan provinsi di seluruh Indonesia. Hingga, dapat dikatakan, pemilihan tema ini sebenarnya lebih merupakan “covering” semata dalam rangka menjadi semacam “cermin” dan “contoh” yang ditawarkan dan disajikan Banten sebagai tuan rumah.

Berkat kerja semua pihak, termasuk para peserta anggota MPU itu sendiri, perhelatan ini berhasil dilaksanakan dengan sukses dan baik. Semoga menjadi cermin bagi komitmen dan kepedulian kita dalam rangka melakukan pembangunan intelektual dan kekuatan kultural bangsa kita.

Sulaiman Djaya (Salah seorang Kurator) 


Rak Buku Puisi



Sajak-sajak yang termaktub dalam buku antologi puisi karya penyair Sulaiman Djaya ini menyuguhkan 69 sajak yang menampilkan dan menyuarakan ragam tema. Tampak juga sajak-sajak yang termuat dalam Mazmur Musim Sunyi ini tampil dalam aneka gaya dan bentuk puitika: mulai dari kwatrin hingga puisi prosaik, dari bentuk ode hingga balada, dan tak lupa juga sajak-sajak yang berbentuk atau bergaya meditatif kedalam, hening, dan berusaha menyelami realitas yang ingin “direnungi” dan ingin “dibaginya” dengan para pembaca, semisal sajak-sajak yang bernada sufistik dan sajak-sajak permenungan personal penyairnya.

Dan tak lupa juga, buku Mazmur Musim Sunyi ini pun memuat sejumlah sajak cinta romantis dan sajak cinta renyah yang terkesan rileks dan bercanda, selain tentu saja ada juga sajak-sajak yang bercerita tentang kenangan penyairnya, seperti sajak-sajak yang bertema dan berjudul tentang "Ibu". Untuk yang berminat membeli, bisa pesan ke: 0815-4614-7625. Harga Rp. 50.000 (Sudah termasuk ongkos kirim). 

Pendapat Para Penulis tentang Buku Mazmur Musim Sunyi

Keberhasilan Sulaiman Djaya adalah memainkan personifikasi dan hiperbola dalam setiap puisi-puisinya. Material dihidupkan oleh teknik seorang penyair, bukan alami. Ini salah satu gaya yang dimiliki oleh SD (Heri Maja Kelana, penulis dan pecinta sepeda).

Puisi-puisi penyair Sulaiman Djaya yang terkumpul dalam buku Mazmur Musim Sunyi ini menyiratkan keseimbangan kecerdasan pikiran dan tangan sebagai “sekembar” aktus intelegensia itu sendiri. Bagi penulis, gagasan itu di dalam tangan yang sekaligus bekerja kompak dengan intuisi dan pikirannya. Terlihat juga dalam beberapa sajaknya yang prosaik, selain sajak-sajaknya yang tertib laiknya puitika kwatrin itu, menampilkan diri dengan lincah sekaligus rileks (M. Taufan, penyair tinggal di Bekasi).

Di dalam bis, di Smoking Area saya buka buku Mazmur Musim Sunyi. Saya menemukan puisi berjudul "Monolog". Ada bagian menarik di puisi itu, seperti berikut: Saya tahu seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. Saya merenungi kalimat tersebut. Seorang penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku. "Aku" ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga penting dan esensial untuk dituliskan (Lutfi Mardiansyah, penyair tinggal di Sukabumi).

Simbol-simbol waktu yang ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat. Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia (M. Rois Rinaldi, penulis tinggal di Cilegon).

Akan banyak sekali yang ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim Sunyi Sulaiman Djaya ini, yang secara tanpa sadar menggunakan citraan warna-warna untuk menandakan benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam puisi “Memoar”, “November yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat Cinta”, “mendengar putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak warna kelabu yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja tampak marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah Desember putih”, dan masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat disandingkan dengan penanda waktu (Mugya Syahreza Santosa, penyair tinggal di Bandung).