Acara Bedah Buku Mazmur Musim Sunyi di Aula PKM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa 15 Mei 2013.
Minggu, 29 Maret 2015
Di UPI Bandung
Sejumlah foto di acara
Diskusi dan Apresiasi Buku Mazmur Musim Sunyi karya Sulaiman Djaya yang
diselenggarakan oleh ASAS UPI di UPI Bandung 18 April 2013. Pukul 13.00 WIB -
17.00 WIB.
Profil Sastra
Oleh
M. Rois Rinaldi (Penyair)
Kerja-kerja
sastra sangat menguras pikiran, tenaga, dan waktu. Karena dituntut mengerahkan
kecerdasan emosional, kedalaman bathin, dan keluasan berpikir dalam setiap
karya, bahkan dalam setiap tindakan –meski tak dapat dipastikan bahwa semua
penyair demikian. Sementara di sisi lain, paling tidak hingga tulisan ini
ditulis, kesusastraan (khususnya puisi) masih di-anak tirikan, di mana
toko-toko buku tidak begitu saja menerima antologi puisi, syarat dan ketentuan
yang diajukan dibuat berat dan bertele-tele.
Jika
pun ada buku puisi yang tersebar di toko-toko buku, sebatas kata-kata cinta ala
anak-anak remaja (ABG). Hal semacam itu memang aneh sekaligus tidak aneh,
karena manusia di jaman sekarang orientasinya selalu keuntungan, maka yang
diprioritaskan kehendak pasar, kualitas menjadi nomor keseratus.
Kenyataan
yang dihadapi sastrawan seperti buah simalakama: mengerahkan seluruh hidupnya
dalam kesusastraan yang minus pendapatan material atau gantung pena, lalu
memilih profesi lain yang lebih menghasilkan. Dilatarbelakangi oleh pangsa
pasar pula, membuat beberapa sastrawan berpindah-pindah genre, seperti Motinggo
Busye. Novel-novelnya laku keras seperti kacang goreng di area layar tancap.
Belum lagi sastrawan dihadapkan pada kemalasan guru-guru bahasa yang tidak
berusaha mencari dan menemukan data baru mengenai sastrawan yang hari ini
berkarya.
Sebetulnya
perkara-perkara semacam itu tidak akan membuat sastrawan sejati tumbang. Karena
bagi sastrawan yang bebas jiwa dan badannya, keadaan tidak untuk diikuti,
melainkan ditanggapi dengan matang dan tenang –toh kemenangan selalu di tangan
orang-orang yang tenang. Berbeda dengan sastrawan yang tahunya soal-soal
eksistensi dan selebritas kesusastraan, biasanya rapuh dan kalah oleh keadaan.
Sepanjang waktu akan ditakut-takuti kegelisahan eksistensi, apalagi sampai
tidak laku dan tidak menulis kemudian menjadi pilihan.
Sulaiman
Djaya salah satunya –sastrawan ini selalu riang gembira dalam pelbagai
kesempatan. Ia termasuk sastrawan yang produktif. Terakhir ia menerbitkan
antologi puisinya yang berjudul Mazmur Musim Sunyi. Sastrawan yang lebih pas
disebut penyair ini, selain menulis puisi dan esai sastra, juga kerap menulis
tentang kajian-kajian kebudayaan. Sehingga belakangan ia juga disebut
budayawan. Tetapi sekali lagi, ia lebih pas disebut penyair. Puisi-puisinya
memiliki warna airmuka yang begitu dekat kaitannya dengan “hakikat kehidupan”.
Jika sekilas dibaca, puisi-puisinya seperti puisi cinta biasa, akan tetapi jika
diselami lebih dalam, ada warna “teologis”, semisal yang bercitarasa sufistik.
Begitulah
sekilas tentang Sulaiman Djaya dan karya-karyanya. Seperti kata pepatah: “Tak
kenal maka tak sayang” melihat konsistensinya di dunia kesusastraan. Menyoal
proses kreatif, sastrawan ini kerap memberikan “wejangan” kepada
penyair-penyair muda untuk membaca dan memahami al Qur’an –karena di dalam al
Qur’an aspek-aspek kesastraan begitu paripurna. Begitulah obrolan ringan
mengenai kesusastraan bersama Sulaiman Djaya sambil ngopi dan makan ubi rebus.
Disadur
dari Tabloid Ruang Rekonstruksi Edisi
Desember 2013.
Sabtu, 28 Maret 2015
Galeri MPU Ke-8 di Banten
Pada
15-18 November 2013 lalu Temu Sastra Mitra Praja Utama Ke-8 digelar di Kota
Serang dan di kawasan masyarakat Kanekes (Baduy) Banten. Sebagai provinsi muda,
Banten kembali dipercaya sebagai tuan rumah perhelatan sastra dan kebudayaan
Mitra Praja Utama (MPU), setelah MPU sebelumnya diadakan di Jogjakarta. Ini
merupakan kali keduanya Banten kembali menjadi tuan rumah penyelenggaraan
perhelatan Kesusastraan Mitra Praja Utama setelah sebelumnya menjadi tuan rumah
di penyelenggaraan MPU perdana. Pada penyelenggaran MPU kali ini, tema umum
yang dipilih adalah “Mistisisme dalam Kesusastraan”.
Tentu
saja, dipilihnya tema tersebut berdasarkan beberapa pertimbangan, yang meski
tak terhindar dari subjektivitas, namun tidak terlepas dari upaya untuk
mengangkat wacana dan khasanah yang paling dekat dengan “kultur” Banten sebagai
tuan rumah. Martin van Bruinessen, misalnya, menyebut Banten secara kultural
dan mistis dengan julukan “surga-nya khazanah dan praktek magis di Nusantara”.
Yang dimaksud Bruinessen dengan pernyataannya tersebut adalah budaya-budaya
masyarakat Banten semisal Silat dan Debus atau praktik-praktik kesaktian,
kedigdayaan, dan “ngehikmah” ala orang Banten yang memang sudah populer di
Nusantara.
Apa
yang dikemukakan Bruinessen tersebut hanya sekeping contoh kecil tentang
khazanah mistis dan magis di Banten, meski tentu saja Bruinessen belum menyebut
keseluruhan secara utuh kultur mistis dan magis masyarakat Banten yang mewujud
dalam ragam khazanah dan living culture, semisal kesastraan magis yang hidup di
Banten Selatan, seperti tradisi pantun dan mantra magis Sunda-Baduy yang telah
banyak dikaji itu, namun masih menyimpan potensi untuk terus dikaji ulang. Dan
juga Seni Dodod Banten Selatan di Pandeglang yang merupakan seni ritual pantun
Sunda Banten yang telah berakulturasi dengan ajaran dan nilai-nilai Islam dalam
prakteknya.
Dalam
dua contoh seni tradisi tersebut, yang tentu saja menarik dan tak bisa
diabaikan, adalah adanya unsur kesastraan puitik yang dalam hal ini pantun dan
mantra yang dibacakan dalam ritual dan upacara adat dan tradisional tersebut.
Hal
lain yang menarik adalah, meski secara linguistis dan geografis Banten terbagi
menjadi Banten Utara yang didominasi penggunaan bahasa Jawa Banten dalam
keseharian dan Banten Selatan yang didominasi penggunaan Bahasa Sunda, namun
memiliki kekhasan umum yang sama dalam kecendrungan kulturalnya, baik dari sisi
budaya, adat, dan sastra. Khusus di Banten Utara, misalnya, kita bisa mengkaji
khazanah penulisan dan kesusastraan yang menggunakan Bahasa Jawa Banten,
semisal kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren-pesantren dan sastra
lokal pantun dolanan dan sindiran yang menggunakan Bahasa Jawa Banten yang juga
akrab dengan khazanah mistis dan magis dalam konteks lanskap umum kultur
Banten.
Kekayaan
itu akan semakin bertambah bila kita mengkajinya secara historis. Di sini kita
dapat mencontohkan warisan-warisan penulisan dan kesastraan Banten masa silam
di era Kesultanan Banten dan di era Banten pra-Islam.
Begitulah
“Mistisisme dalam Kesusastraan” dipilih sebagai tema penyelenggaraan MPU VIII
di Banten, yang selain ingin menggali bahan-bahan dan pengkajian baru khazanah
sastra yang belum maksimal dieksplorasi, juga dimaksudkan sebagai upaya untuk
menimba dan menggali kearifan lokal atau local wisdom yang diharapkan akan
memberi wawasan, pintu, dan khazanah baru bagi kreativitas dalam dunia sastra
dan penulisan, dan kebudayaan pada umumnya. Dan seperti kita tahu, kearifan
lokal ini menyebar di seluruh negeri, etnik, dan provinsi di seluruh Indonesia.
Hingga, dapat dikatakan, pemilihan tema ini sebenarnya lebih merupakan
“covering” semata dalam rangka menjadi semacam “cermin” dan “contoh” yang
ditawarkan dan disajikan Banten sebagai tuan rumah.
Berkat
kerja semua pihak, termasuk para peserta anggota MPU itu sendiri, perhelatan
ini berhasil dilaksanakan dengan sukses dan baik. Semoga menjadi cermin bagi
komitmen dan kepedulian kita dalam rangka melakukan pembangunan intelektual dan
kekuatan kultural bangsa kita.
Sulaiman Djaya (Salah seorang Kurator)
Rak Buku Puisi
Sajak-sajak
yang termaktub dalam buku antologi puisi karya penyair Sulaiman Djaya ini
menyuguhkan 69 sajak yang menampilkan dan menyuarakan ragam tema. Tampak juga
sajak-sajak yang termuat dalam Mazmur Musim Sunyi ini tampil dalam aneka gaya
dan bentuk puitika: mulai dari kwatrin hingga puisi prosaik, dari bentuk ode
hingga balada, dan tak lupa juga sajak-sajak yang berbentuk atau bergaya
meditatif kedalam, hening, dan berusaha menyelami realitas yang ingin
“direnungi” dan ingin “dibaginya” dengan para pembaca, semisal sajak-sajak yang
bernada sufistik dan sajak-sajak permenungan personal penyairnya.
Dan
tak lupa juga, buku Mazmur Musim Sunyi ini pun memuat sejumlah sajak cinta
romantis dan sajak cinta renyah yang terkesan rileks dan bercanda, selain tentu
saja ada juga sajak-sajak yang bercerita tentang kenangan penyairnya, seperti
sajak-sajak yang bertema dan berjudul tentang "Ibu". Untuk yang
berminat membeli, bisa pesan ke: 0815-4614-7625. Harga Rp. 50.000
(Sudah termasuk ongkos kirim).
Pendapat Para Penulis tentang Buku
Mazmur Musim Sunyi
Keberhasilan
Sulaiman Djaya adalah memainkan personifikasi dan hiperbola dalam setiap
puisi-puisinya. Material dihidupkan oleh teknik seorang penyair, bukan alami.
Ini salah satu gaya yang dimiliki oleh SD (Heri Maja Kelana, penulis dan
pecinta sepeda).
Puisi-puisi
penyair Sulaiman Djaya yang terkumpul dalam buku Mazmur Musim Sunyi ini
menyiratkan keseimbangan kecerdasan pikiran dan tangan sebagai “sekembar” aktus
intelegensia itu sendiri. Bagi penulis, gagasan itu di dalam tangan yang
sekaligus bekerja kompak dengan intuisi dan pikirannya. Terlihat juga dalam
beberapa sajaknya yang prosaik, selain sajak-sajaknya yang tertib laiknya
puitika kwatrin itu, menampilkan diri dengan lincah sekaligus rileks (M.
Taufan, penyair tinggal di Bekasi).
Di
dalam bis, di Smoking Area saya buka buku Mazmur Musim Sunyi. Saya
menemukan puisi berjudul "Monolog". Ada bagian menarik di puisi itu,
seperti berikut: Saya tahu seorang penyair harus belajar menulis
puisi yang kata pertamanya bukan aku. Saya merenungi kalimat tersebut. Seorang
penyair harus belajar menulis puisi yang kata pertamanya bukan aku.
"Aku" ini, aku sebagai kediriankah? Jika memang demikian, saya
setuju. Penyair harus bisa menulis puisi yang tidak hanya berkutat dengan
kediriannya, sebab ada banyak hal di luar diri yang juga penting dan esensial
untuk dituliskan (Lutfi Mardiansyah, penyair tinggal di Sukabumi).
Simbol-simbol
waktu yang ditanam Sulaiman Djaya dalam puisi-puisinya mengingatkan pada sumpah
Tuhan atas nama makhluknya, yakni “Demi Waktu”. Keberadaan waktu dalam
kehidupan memang misterius. Ia seperti sangat jauh padahal begitu dekat.
Seperti sangat renggang padahal begitu rapat dengan tubuh dan ruh manusia (M. Rois Rinaldi, penulis tinggal di
Cilegon).
Akan
banyak sekali yang ditemukan dari puisi-puisi yang terhimpun dalam Mazmur Musim
Sunyi Sulaiman Djaya ini, yang secara tanpa sadar menggunakan citraan
warna-warna untuk menandakan benda-benda. Sebut saja “putih beludru” dalam
puisi “Memoar”, “November yang agak ungu” untuk latar waktu pada puisi “Surat
Cinta”, “mendengar putih bintang-bintang”, “tahun-tahun adalah kibasan perak
warna kelabu yang jadi biru”, “hijau musim di wajahmu yang matang”, “senja
tampak marun”, “langit kuning bulan Mei”, “akhirnya datanglah Desember putih”,
dan masih banyak lagi yang lainnya yang kemudian dapat disandingkan dengan
penanda waktu (Mugya Syahreza Santosa, penyair tinggal di Bandung).
Langganan:
Postingan (Atom)